Menilik Inklusi Disabilitas Sebuah Kota: Refleksi Sumpah Pemuda dari Pemudi Difabel

Institute of Community Justice (ICJ) Makassar mengadakan diskusi K-HUB BERBINAR (Berbincang Menarik). Untuk kesempatan itu, mereka mengangkat tema “Anak Mudayya A’bicara di Hari Sumpah Pemuda”.

Di masa-masa sekarang, saat dunia melaju dengan pesat, memang orang muda merupakan kunci dari peradaban. 

Di YouTube, Instagram, Tik Tok dan semua media sosial di mana dunia berputar bisa kita dapati orang muda. 

Ada yang dengan karya-karyanya, ada yang hanya dengan kerusuhan tidak jelas. Sekarang memang orang muda sudah lebih eksis ketimbang orang tua. 

Tapi, di antara banyaknya orang muda di media sosial, kita masih jarang mendapati orang muda yang kritis. 

Nah, tema anak mudanya bicara di hari sumpah pemuda ini sangat menarik. Karena di usia tujuh belas tahun begini, bergaul dengan kawan-kawan di sekolah, belum pernah saya dapati teman yang pemikirannya sama, atau setidaknya mendekati cara berpikir saya.

Orang muda bicara

Pembicara yang dihadirkan ICJ ada empat orang muda. Orang muda dengan pengalaman berbeda, cara pikir berbeda, dan pergerakan yang berbeda. 

Ada Andi Nurul Annisa Yudha, yang membawakan tema generasi milenial pencegah perkawinan anak. 

Ada Thery alghifary (aliansi perdamaian) dengan tema “perdamaian dan kebebasan berekspresi peluang dan tantangan bagi pemuda. 

Ada pula Muhammad Sahlan (Relasi obat manjur) dengan tema gerakan anti korupsi di SULSEL. 

Ada juga saya, dari PerDIK yang membawakan tema “Kota Inklusi, sudahkah terwujud?”

Key note speech hari itu adalah Achmad Hendra Hakamuddin dari Dinas Pemuda Dan Olahraga kota Makassar.

Malam hari sebelum acara, Akas (teman tuli) bertanya apakah ada akses juru bahasa isyarat untuk kegiatan ICJ. 

Saya langsung menanyakannya ke Kak Rani, orang ICJ yang sebelum acara sering kali chat dengan saya untuk mengurus beberapa hal. 

Kata Kak Rani, untuk saat itu memang belum ada JBI yang disediakan, tapi dia berjanji akan membicarakannya dulu dengan teman-teman ICJ.

Keesokannya, barulah Kak Rani memastikan bahwa mereka akan menyediakan akses JBI. Saya senang sekali dengan kabar itu. Ada JBI, berarti Akas dan kawan-kawan tuli lainnya bisa ikut berbinar dan melihat saya berbicara tentang difabel. 

Ini menurut saya adalah salah satu proses baik dalam berbinar ICJ. Dengan mereka memberikan saya kesempatan untuk menjadi pembicara, itu juga otomatis membuat keseluruhan proses berbinar menjadi akses untuk difabel. 

Seperti kata Kak Ishak pernah, “akses ada karena difabelnya ada.”

Hampir semua tema yang diangkat oleh tiga pembicara selain saya itu cukup kedengaran familiar, karena di LSM kami sudah memasuki mata kuliah struktur sosial bersama Kak Nurhady Sirimorok, dosen struktur sosial kami.

Kak Dandi biasanya beliau disapa, selalu membawakan pelajaran dengan ringan dan menyenangkan. 

Bagi saya pribadi, Kak Dandi adalah teman bicara yang menakjubkan. 

Mulai dari persoalan pernikahan muda, sampai dengan kenapa orang Belanda sekarang sangat baik pada orang Indonesia Kak Dandi akan bahas bersama kami. 

Semua hal yang ada dalam struktur sosial akan Kak Dandi kupas secara detail, dan itu membuat saya dan teman-teman ISM menjadi tahu banyak isu-isu di masyarakat. 

Memang menarik isu perkawinan anak, perdamaian, dan gerakan anti korupsi di Sulawesi Selatan itu. Tapi pada tulisan kali ini, saya hanya akan membahas bagaimana kelompok-kelompok di masyarakat bisa menerima difabel dengan tangan terbuka.


4 Poin Menilai Inklusivitas Kota

Kemarin saya memiliki empat poin penting yang sederhana. Sengaja saya buat sesederhana mungkin, agar orang-orang muda yang menjadi peserta berbinar ICJ tidak merasa pusing dengan materi-materi berat terkait difabel. Yang jelas mengenal Apa itu difabel dulu, kan?

Empat poin penting itu adalah bagaimana orang muda difabel menghadapi masa remaja, pergerakan orang muda difabel, kerentanan pemuda pemudi difabel, dan betapa pentingnya lingkungan mendukung pemudi pemuda difabel. 

Empat poin ini erat sekali kaitannya dengan tema yang saya bawakan, kota inklusi sudahkah terwujud?

1. Bagaimana Orang Muda Difabel Menghadapi Masa Remaja.

Difabel menghadapi masa remaja dengan cara yang sama saja dengan orang muda non-difabel, nyaris tidak ada yang berbeda. 

Nah, hanya memang masyarakat sebagian tidak mengetahui hal ini. Itu karena sejak kecil, mulai dari menjadi murid sekolah dasar, teman-teman nondifabel sudah terpisah dengan mereka yang difabel.

Ada sekolah khusus yang dibangun pemerintah untuk anak difabel, sekolah yang kemudian disebut dengan istilah sekolah luar biasa (SLB). 

Secara tidak langsung, difabel dipaksa bersekolah di sekolah luar biasa, mereka tidak diberi pilihan lain. Sekolah di SLB, atau menerima penolakan saat mendaftarkan diri di sekolah regular.

Menurut saya, SLB adalah salah satu faktor yang membuat stigma negatif di masyarakat tentang difabel bertumbuh. Seolah-olah difabel membutuhkan perlakuan khusus, pelajaran yang khusus, dan kurikulum yang khusus.

Masyarakat awam rata-rata memandang difabel sebagai individu yang baik hati dan agamis. Padahal tidak begitu juga. 

Difabel, sebagai salah satu kelompok dalam masyarakat juga memiliki anggota yang punya sifat berbeda-beda. Yang baik, buruk, suka membantu, lemah lembut, iri pada teman sendiri dan sebagainya. 

Difabel juga bisa jatuh cinta tentunya, bisa bergosip, bisa hang out dan aktifitas lain yang biasanya remaja lain lakukan.

2. Pergerakan Orang Muda Difabel.

Stigma negatif adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari difabel. Stigma itu sudah ada sejak dulu, untuk meretasnya kita memerlukan pergerakan dan perjuangan yang tidak berhenti. 

Dari Sabang sampai Merauke kita bisa mendapati plang yang bertuliskan panti pijat tunanetra. 

Apakah ini karena sebagian besar orang buta di Indonesia bercinta-cita menjadi tukang pijat? Tidak, kan? 

Tapi karena di balai-balai difabelnetra, di panti-panti difabelnetra, anak-anak didik kebanyakan dilatih untuk menguasai keterampilan pijat. 

Ini adalah bentuk dari kejamnya pikiran orang yang berkuasa. Mereka merasa berkuasa untuk menetapkan bahwa tunanetra, di panti manapun dia bermukim, dia paling cocoknya menguasai keterampilan pijat. 

Jadi pijat bukan keterampilan yang diinginkan difabelnetra, tapi keterampilan yang ditetapkan pemerintah untuk difabelnetra.

Nah, karena mulai memiliki kesadaran untuk meretas stigma di masyarakat, akhirnya orang muda difabel mulai bergerak. 

Membuat organisasi, komunitas, bergaul, kuliah, dan contoh sederhananya adalah sekolah. Dengan sekolah di luar dari SLB, teman-teman difabel bisa berteman dengan nondifabel, dan tentunya pelan-pelan mengadvokasi masyarakat bahwa difabel tidak senegatif apa yang selama ini orang-orang pikirkan.

3. Kerentanan Pemuda Pemudi Difabel.

Difabel adalah orang yang rentan, mereka memiliki kerentanan itu karena beberapa faktor. Apalagi ketiga dia adalah anak, perempuan, dan difabel. Dia mengalami multi kerentanan. 

Sebagian besar difabel mengalami kesulitan untuk mengakses infomrasi, dan salah satu informasi yang sulit didapatkan oleh difabel adalah informasi terkait Pendidikan Seks dan Seksualitas.

Kesulitan mendapat informasi ini bisa menjadi jawaban dari pertanyaan mengapa difabel kerap kali mendapat pelecehan seksual. Karena mereka tidak tahu apa itu pelecehan seksual, mereka tidak tahu apa itu hamil, mereka tidak tahu bahwa ada bagian-bagian pada tubuh mreka yang hanya milik mereka pribadi dan tidak bisa disentuh orang lain.

Ketika kamu difabel, kamu juga rentan untuk menjadi orang yang disalahkan di lingkungan sosial. Akan ada orang yang menyalahkan kamu karena keadaanmu. 

Jika kamu buta, kamu harus sekolah di SLB, bukan di sekolah umum. Kalau tetap memaksa sekolah di sekolah umum, kamu akan disalahkan, karena itu berarti kamu melenceng dari hal yang sudah ditetapkan pemerintah. 

Ketika kamu memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (ODGJ) dan meresahkan masyarakat, kamu perlu untuk memasung anggota keluargamu itu. 

Kamu harus menghentikan dia, atau lebih parahnya membiarkan dia bergelandang di jalanan. Jadi orang-orang kerab kali menyalahkan difabel, bukan menyalahkan lingkungan yang membuat difabel itu menjadi tidak bisa berdaya.

4. Pentingnya Lingkungan Mendukung Pemuda Pemudi Difabel.

Dalam pergerakannya, orang muda difabel sangat memerlukan dukungan dari lingkungan. Ini adalah dorongan terbesar untuk mereka agar bisa maju, berdaya, dan tidak menjadi frustasi dengan keadaannya. 

Di Makassar sendiri, dari sisi regulasi, kita sudah memiliki fondasi yang lumayan kuat. Tapi, pada implementasi masih kurang maksimal. Contoh sederhana saja seperti adanya akses guiding block di Pantai Losari.

Nah, guiding block nya sudah ada. Tetapi di tengah-tengah trotoar berdiri tiang listrik, yang kemungkinan besar bisa ditabrak oleh teman-teman netra. Contoh berikutnya, yang paling sering terjadi adalah penolakan sekolah umum pada calon muridnya yang difabel.

“Kota inklusi, sudahkah terwujud?”

Inklusi memang pekerjaan yang panjang, lama, dan tidak ada ujungnya. Makassar inklusi atau tidak itu bisa kita simpulkan sendiri.

Penulis: 
Nabila May Sweetha, Penulis dan Aktivis Difabel PerDIK

Post a Comment for "Menilik Inklusi Disabilitas Sebuah Kota: Refleksi Sumpah Pemuda dari Pemudi Difabel"