Kerentanan Perempuan Difabel di Sepanjang Siklus Hidupnya

Kerentanan Perempuan Difabel di Sepanjang Siklus Hidupnya

By: Ishak Salim (Ketua Yayasan PerDIK)

Kerentanan Perempuan Difabel di Sepanjang Siklus Hidupnya

Kerentanan difabel, khususnya perempuan difabel masih menjadi masalah besar di negeri ini. 

Data SUPAS 2015, sebagaimana disajikan oleh direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olah Raga Kemeneterian PPN/BAPPENAS, 2020, menunjukkan bahwa saat ini terdapat 10,3 juta Rumah Tangga yang memiliki anggota difabel; terdapat 1,4 juta difabel tak memiliki identitas NIK (Nomer Induk Kependudukan); 8 juta rumah tangga difabel tanpa sanitasi yang layak, 384 ribu rumah tangga dengan difabel tanpa aliran listrik, 8,2 juta rumah tangga dengan difabel tanpa asuransi Kesehatan. 

Kerentanan dalam lingkup rumah tangga itu akan membebani perempuan difabel.

Sementara itu, data perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan terbanyak yaitu perempuan dengan disabilitas intelektual (47%) diikuti perempuan dengan disabilitas psikososial (20,6%). 

Dalam kaitannya dengan difabel psikosial, salah satu persoalan yang perlu dibenahi adalah adanya ribuan penyandang disabilitas psikososial dikurung di panti-panti sosial di Indonesia dalam kondisi penanganan yang tidak memadai bahkan kurang manusiawi.

Menurut Yenni Rosa Damayanti, aktivis difabel psikososial (PJS Jakarta), penghuni panti ditempatkan dalam fasilitas menyerupai penjara dalam kurun waktu yang tidak tertentu, bisa berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. 

Selanjutnya, di banyak panti, mereka bukan hanya terkurung di kompleks panti, mereka bahkan tidak bisa meninggalkan ruangan/sel dimana mereka berada, kecuali untuk makan. 

Mereka dikunci dalam ruangan siang malam dan lamanya mereka dikurung di panti bisa bulanan sampai tahunan. Selain itu, tak sedikit penghuni panti ini dirantai.

Di samping soal itu, permasalahan yang sering dihadapi penghuni panti adalah praktik pengobatan paksa, di mana obat anti psikotik dengan jenis obat yang sama dengan dosis yang seragam diberikan tanpa persetujuan bahkan sepengetahuan yang bersangkutan.

Artinya, tidak ada penegakan diagnosis individual, padahal tidak semua penghuni menderita psikotik.

Komnas HAM yang melakukan pemeriksaan juga menemukan hal serupa selama dalam kunjungan ke 6 panti-panti sosial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. 

Dalam situasi yang buruk itu, perempuan difabel psikososial akan kehilangan masa depannya. Untuk itu, dua tawaran solusi yang diajukan oleh pergerakan difabel adalah mengubah panti-panti sosial dari bentuk tertutup seperti penjara menjadi bentuk terbuka seperti asrama. 

Kedua, memberi dukungan agar perempuan disabilitas bisa keluar dari panti dan hidup secara inklusif di masyarakat, seperti tersedianya perumahan sosial dengan dukungan penuh memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kerentanan Perempuan dalam Siklus hidupnya

Menurut aktivis difabel perempuan, Nurul Saadah, direktur Sapda Yogyakarta, perempuan difabel dalam siklus kehidupannya mengalami kerentanan berlapis dan diskriminasi berganda.

Kesimpulan ini diperolehnya setelah melakukan riset siklus kehidupan difabel perempuan pada 2020. 

Kerentanan perempuan difabel itu tampak pada seringnya perempuan difabel mengalami kekerasan dan diskriminasi berganda bahkan berlipat dari orang pada umumnya. 

Dengan memakai perspektif siklus hidup, hasil penelitian tersebut menggambarkan dengan detail bentuk-bentuk kerentanan perempuan sejak lahir hingga dewasa akhir.

Dalam keluarga, seorang bayi perempuan difabel mudah mengalami penolakan atau terabaikan dan tidak mendapatkan pengasuhan yang tepat. 

Bahkan dalam beberapa kasus, seorang perempuan yang melahirkan anak difabel justru dipersalahkan, mendapatkan tekanan bahkan ditinggalkan oleh pasangan atau keluarganya karena mempunyai anak perempuan disabilitas. 

Hal lain yang terjadi adalah kebutuhan anak difabel di masa kanak-kanaknya tidak mendapat perhatian serius.

Di usia remaja, seorang remaja perempuan difabel tidak mendapatkan dukungan secara penuh dari keluarganya untuk bertumbuh, berkembang, bersosialisasi dengan teman sebaya, lingkungan yang lebih luas. 

Bahkan, sebagian keluarga berperilaku over protective atau justru malu mempunyai anak perempuan disabilitas. Perlakuan bullying bagi difabel dari teman sebaya, keluarga maupun orang-orang dalam lingkungannya kerap terjadi.

Dalam keadaan demikian, seorang remaja perempuan difabel akan menemui banyak hambatan seperti terkait dengan interaksi sosial, seringkali merasa sangat malu yang berlebihan serta tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk berinteraksi sosial dan mengambil peran dalam lingkungan sebayanya.

Memasuki usia dewasa awal atau memasuki usia pernikahan dan menikah, perempuan difabel seringkali mengalami kehamilan atau melahirkan bukan sebagai pilhan rasional. 

Misalnya, kehamilannya tidak diinginkan atau justru dilarang untuk hamil dan melahirkan karena adanya stigma perempuan disabilitas akan melahirkan anak disabilitas, biaya perawatan kehamilan dan melahirkan yang mahal, dan tidak mampu mengurus anak yang dilahirkan. 

Dalam beberapa kasus, seringkali penggunaan alat kontrasepsi, atau tindakan aborsi maupun adopsi anak oleh keluarga menjadi keputusan keluarga dengan tiada penyampaian kepada perempuan difabel yang bersangkutan.

Sebagai pasangan dari seorang suami, relasinya bisa tidak setara. Perempuan difabel jelas berada dalam titik yang rentan dan mudah ditinggalkan, atau diabaikan, diduakan bahkan dimanfaatkan secara fisik dan ekonomi oleh pasangan karena posisi tawar yang rendah. 

Rendahnya posisi tawar ini bisa disebabkan oleh karena perempuan disabilitas dianggap tidak memenuhi standar kecantikan oleh masyarakat, dan tidak dapat menjalankan peran sosial dengan optimal.

Lainnya, di usia dewasa atau di masa-masa produktifnya, seorang perempuan difabel menjadi orang dengan beban ganda di satu sisi dan minim dukungan sosial di sisi lainnya. Akan lebih tertekan lagi di saat difabel tidak memiliki asset penghidupan. 

Untuk itu, perempuan difabel menjadi pekerja keras, mengorbankan waktu, harta benda untuk mendapatkan posisi di keluarga kecil dan keluarga besar (pasangannya), tetapi seringkali masih mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan/ merendahkan martabat terkait kondisi sebagai perempuan disabilitas.

Apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kerentanan ini, kawan?

Upaya memperjuangkan hak perempuan difabel menguat di kalangan aktivis pergerakan, baik oleh organisasi disabilitas maupun organisasi atau lembaga bantuan hukum yang peduli pada isu difabel berhadapan dengan hukum maupun sektor layanan publik lainnya.

Dukungan juga hadir dari berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas keagamaan maupun non-keagamaan) yang juga mulai menyuarakan pentingnya mengarusutamakan inklusi-disabilitas.

Kini ada kabar positif menyangkut perkembangan regulasi yang memungkinkan hak akses atas keadilan bagi difabel berhadapan dengan hukum bisa tercapai, yakni melalui PP No. 39 tahun 2020 tentang Akomodasi yang layak di seluruh lembaga peradilan dan lembaga pemasyarakatan.

Sebelum PP ini disahkan, sejumlah APH di daerah melakukan Kerjasama dengan Organisasi disabilitas, seperti di DI Yogyakarta maupun Provinsi Sulawesi Selatan. 

Upaya-upaya memainstreamingkan perspektif disabilitas melalui diskusi atau pelatihan bersama aparat penegak hukum di berbagai instansi dan pemberdayaan paralegal maupun advokat telah membuat praktik peradilan mulai bergulir ke perspektif inklusi disabilitas. 

Perubahan-perubahan kecil mulai tampak secara fisik dengan tersedianya ramp, guiding block, toilet dan tempat parkir akses dan sebagainya. 

Jika konsistensi regulasi ini ditindaklanjuti secara internal oleh institusi APH untuk bekerja mengikuti mandat PP 39/2020, maka perlakuan stigmatik (labelisasi, stereotifikasi, segregasi dan diskriminasi) terhadap difabel dapat dieliminasi.

Kita tidak bisa puas dengan capaian-capaian itu, kita masih perlu lebih massif bergerak. 

Kita perlu bahu membahu mengurusi hal penting ini. Jika organisasi ada meneliti, menelitilah dan bagikan informasinya. 

Jika organisasi anda mengorganisir perempuan difabel hingga berdaya, tulis dan sebarkanlah pengalaman anda dan teman-teman anda. 

Jika organisasi anda bekerjasama dengan pemerintah atau mitra kerja lainnya, perluaslah aliansi anda hingga ke kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas di tingkat desa.

Tetap semangat, tetap berbagi, tetap bergerak!

Kunjungi Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) di https://ekspedisidifabel.wordpress.com/, masih banyak tulisan-tulisan yang bermanfaat yang dapat sobat nikmati.

Semoga bermanfaat.

Post a Comment for "Kerentanan Perempuan Difabel di Sepanjang Siklus Hidupnya"