Pelukan yang Dirindukan

KARENA PELUH , LUPA PELUK

By Hani Elhasbi


Pelukan yang Dirindukan
Sumber gambar: stkip.bbg.ac.id

“Bu, Mentari berangkat dulu ya”

“Ya udah. Sana berangkat. Ini sudah siang. Nanti terlambat. Sampaikan ke gurumu, ayah ibu nggak bisa ke sekolah ngambilin rapor. Soalnya lagi banyak kerjaan.”

“Iya Bu”

Kata Tari sambil mencium punggung tanganku.

Kulihat wajahnya sekilas. Seperti ada yang terpendam. Dia ingin mengatakan sesuatu namun diurungkannya. Di sembunyikan dalam wajah lesu.

Pasti dia sedih karena aku tak bisa datang ke sekolahnya. Lha bagaimana lagi. Tempat kerjaku tak mengizinkan aku ambil cuti ataupun hanya izin sebentar untuk pergi ke sekolah Tari. Kalau aku nekat, maka pekerjaanku yang jadi taruhannya. Aku akan kena teguran dari majikanku dan apabila moodnya lagi tidak baik, bisa-bisa aku di pecat. Sedangkan suamiku juga lagi kejar setoran. Karena 2 hari lagi jatuh tempo membayar kredit motor.

Ya, kami memang masih berada di ekonomi menengah ke bawah. Bagaimana tidak, rumah mungil yang kami tempati statusnya masih kontrakan, motor satu-satunya yang kami punya statusnya masih kredit. Untuk makan saja kami harus ngirit mati-matian. Dan ku harap Tari bisa mengerti keadaan orang tuanya. Toh, di sekolah cuma ndengerin ceramah guru yang lumayan panjang terus rapor di bagikan di kelas masing-masing. Aku sudah pernah mengambilkan rapor Tari waktu kelas satu. Untuk selanjutnya aku tidak berangkat.

Sebelum aku pergi kerja, sejak subuh aku sudah pontang panting di dapur. Menyiapkan sarapan seadanya. Setelah itu mencuci baju. Sedangkan untuk membersihkan rumah. Ku berikan tugas itu pada Tari. Dia perempuan dia harus bisa melakukan pekerjaan perempuan. Aku tak ingin memanjakannya. Karena anak bukanlah raja. Anak juga harus mengerti keadaan rumahnya.

~***~

Hari sudah sore. Aku pulang dari rumah majikanku. Capek rasanya. Aku bekerja sebagai pembantu. Ingin rasanya merebahkan badan ini di kasur sambil di pijit Tari. Ya itu memang kebiasaanku saat lelah bekerja seharian. Ku buka pintu rumah. Krek..pintu tak terbuka

“ kok masih terkuci. Apa Tari belum pulang ya” batinku.

Ku cari kunci rumah di tempat biasa aku menaruhnya sebelum berangkat kerja. Kuncinya masih tersimpan rapi di bawah pot bunga.

"ke mana Tari?” Batinku lagi.

Aku masuk rumah. Kuedarkan retinaku ke seluruh sudut ruangan dan kamar. Namun tak kutemukan keberadaan Tari.

Aku semakin waswas. Ku putuskan untuk menelepon suamiku.

"Mas, Tari sama kamu nggak?”

"Enggak, aku kan ngojek. lha ke mana Tari?

“Enggak tahu Mas. Saya pulang kerja dia tidak ada di rumah. Rumah masih terkunci.”

“Tadi dia sekolah”

“Iya Mas. Tadi hanya ambil rapor. pasti kan nggak sampai sore.”

“Coba kamu ke sekolahnya. Tanyakan pada penjaga sekolah.”

“Iya Mas”

Aku bergegas keluar rumah. Langsung ku kunci pintunya kembali. Namun saat aku meletakkan kunci di bawah pot seperti biasa, terdengar suara salam dari depan rumah. Segera ku tengok. Ternyata adalah wanita paruh baya yang belum aku kenal. Di belakangnya bersembunyi Tari dengan wajah ketakutan.

"Tari. Ke mana saja kamu. Jam segini baru pulang.”

“Bisa bicara di dalam saja Bu”

"Baik. Ayo masuk”

Kami bertiga masuk. Kulihat Tari masih mengekor wanita paruh baya tadi.

"Anda siapa? Tanyaku tanpa basa basi

"Saya Rahma, saya guru Tari”

"oo...kenapa Tari jam segini baru pulang sekolah Bu. Apa ada pelajaran tambahan di sekolah. Sepertinya hari ini hari pengambilan rapor. Pasti kan di sekolah nggak sampai siang Bu?”

"oh. Jadi ibu sudah tahu kalau hari ini pengambilan rapor”

"iya, saya sudah berpesan pada Tari, sampaikan bahwa ibu dan bapaknya nggak bisa berangkat”

"kenapa Bu”

"yach bu, kami kerja Bu. Saya tidak bisa mengambil cuti hanya untuk mengambil rapor di sekolah. Suami saya kejar setoran. kami ini keluarga miskin. Makan hari ini sambil mikir apa yang di makan besok, cicilan motor belum beres, uang kontrakan nunggak.”

Bu Rahma hanya tersenyum tipis.

"Yang menandatangani rapor Tari siapa Bu?”

“Ya bapaknya Bu”

“Kalau Ibu pernah tidak mengecek rapornya?”

“Kalau sempat bu. Kalau nggak sempat ya udah. Yang penting dia naik kelas.”

"Bu kapan terakhir kali Ibu ngambil rapor Tari disekolah”

"kelas satu Bu”

"Bu, Saya perhatikan sebenarnya Tari ini anaknya pintar Bu. Namun dari tahun ke tahun nilai rapornya semakin menurun. “

"Tapi tetap naik kelas kan Bu?”

"memang kalau nggak naik kenapa Bu?”

"ya berarti semakin lama disekolahnya. Semakin tambah biaya”

Kulihat Bu Rahma menghela nafas berat. Mungkin dia kesal dengan jawabanku. Tapin kan kenyataannya demikian.

"Bu tadi saya bertemu Tari di depan Taman dekat jalan raya sana. Mungkin karena melamun dia kesrempet sepeda motor.

""ya Allah. Tari kamu baik-baik saja kan?”

"Alhamdulillah Bu. Dia hanya luka lecet di lututnya dan sudah saya obati. Dia sempat pingsan Bu. Badannya juga panas. Saat tidur di rumah saya dia mengigau”

Aku langsung mendekati Tari. Dan menyibak sedikit rok merahnya sehingga kelihatan 2 perban besar melilit lututnya

"Tari, kamu ganti baju dulu ya. “

Pinta Bu Rahma pada Tari.

Tari mengangguk dan beranjak menuju kamar tidurnya.

Setelah Tari masuk kamar. Bu Rahma kembali berbicara

"Bu, apakah Ibu sayang pada Tari”

"Maksud Ibu apa?” ku rasa pertanyaan Bu Rahma sangat menghina ku. Bagaimana bisa seorang ibu yang melahirkan dan menyusuinya masih di pertanyakan rasa sayangnya pada anak. Aku ikut membantu suami bekerja sebagai pembantu juga untuk masa depannya, untuk tambahan biaya sekolahnya.

“Ibu pernah memeluk Tari saat dia pergi atau pulang sekolah?”

“Untuk apa Bu. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan pelukan Bu.”

Ibu pernah bermain bersama Tari.”

“Saya terlalu sibuk Bu. Pagi sudah di sibukkan dengan masak sarapan mencuci baju mencuci piring. Habis itu langsung kerja. Pulang kerja mengambil jemuran, menyapu dan bersih-bersih. Habis magrib menyetrika baju. Nanti habis isya langsung tidur Bu”

“Tari di rumah bagaimana Bu”

“Ya kadang dia cerewet. Main sana sini. Kadang dia diam saja. “

“Bu Tari itu butuh pelukan dan dukungan Ibu. Bukan cuma butuh uang untuk jajan apalagi biar anak diam anak hanya di pegangi HP. Saat saya menemukan Tari di pinggir jalan dekat taman tadi. Saya langsung menyuruh orang untuk memanggil orang tua tari ke rumah. Ternyata rumahnya kosong. Saat dia sadar saya tanya pada Tari kenapa di sana sendirian. Jelas-jelas rumah Tari tidak mengarah ke sana. Dengan sedikit takut dia cerita pada saya. Dia kesepian di rumah. Ada atau tidak ada dia. Orang tuanya sibuk terus. Katanya untuk masa depan Tari. Berarti bapak dan ibu sibuk sekali karena Tari. Tari nggak mau jadi beban bapak dan ibu. Tari ingin pergi saja. Saat Tari cari perhatian dengan nakal sedikit. Tari langsung dimarahi. Dan di suruh nonton tv atau main hp saja. Padahal tari butuh teman. Tari ingin kayak teman-teman yang diambilin rapor. Saat liburan di ajak main. Diajak makan di luar. Tari ingin makan bakso di jalan gede sana sama bapak sama ibu. “

Aku di butakan oleh air yang memenuhi mataku. Sedetik kemudian air itu tumpah ruah mengalir deras memenuhi pipi.

Ya Allah. Maafkanlah hamba-Mu. Betapa jahatnya aku pada anakku. Anakku sendiri kuanggap sebagai beban dalam hidupku. Aku terlalu sibuk bekerja hingga lupa bahwa anakku bukanlah manusia tanpa perasaan. Yang segala rasanya ku anggap tak penting. Aku ingin di mengerti. Tapi aku tak pernah mencoba mengerti anakku. Maafkan aku ya Allah karena peluh aku lupa peluk.

Ckreek

Suara pintu kamar Tari terbuka.

Dengan mengenakan baju kaos merah muda dan celana senada tari keluar kamar.

"Sayang. Sini ibu peluk"

Sejenak Tari kaget dengan ucapanku. Namun sejurus kemudian dia menghambur ke pelukanku.

“Bu. Maafkan Tari ya. Tari tadi main di taman. Tari pulang terlambat.”

“Ibu yang minta maaf ya. Tadi tidak bisa ambilin rapor Tari di sekolah. Bagaimana raport Tari. Nilainya pasti bagus-bagus ya.”

“Alhamdulillah Tari juara 3 . malah pas kelas 1,2,3 tari juara 1 terus Bu.”

“Wah hebat sekali putri Ibu. Tari kakinya masih sakit?”

“udah nggak Bu. Tadi udah di obatin Bu Rahma. “

Tari tersenyum manis sekali

Selama ini mengapa aku baru menyadari senyum anakku semanis ini.

Maaf kan aku anakku ....

...........

Cerpen fiksi namun mungkin ada yang mengalami

Belajar parenting tanpa merasa digurui

#cerpenparenting
#belajarparenting
#parentinganak

Post a Comment for "Pelukan yang Dirindukan"