Harapan dan Realita Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia

Hai sobat setia Surya Disabilitas. Kali ini admin akan mengupas sebuah artikel menarik yang berjudul “The Implementation of Inclusive Education in Indonesia for Children with Special Needs: Expectation and Reality”. Jika judul ini kita terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia untuk Anak Berkebutuhan Khusus: Harapan dan Realitas”. Kalau terjemahannya ngak pas maaf ya. Hehe

Harapan dan Realita Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia
Sumber gambar: thehimalayantimes.com

Artikel “The Implementation of Inclusive Education in Indonesia for Children with Special Needs: Expectation and Reality” ini ditulis oleh Mohammad Efendi dari Universitas Negeri Malang, Indonesia Email: efendi.plb@gmail.com.

Baca juga: Pendidikan Inklusif Sebagai Akses Kesetaraan Pendidikan untuk Disabilitas

Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan inklusif menjadi hot issues atau menjadi perbincangan hangat dalam dunia pendidikan, karena kehadiran pendidikan inklusif di tengah-tengah dunia pendidikan menimbulkan berbagai kontraversi pendapat, baik pendapat yang positif maupun pendapat yang negatif.

Abstrak dalam artikel di atas menjelaskan bahwa pemerintah berupaya untuk melegitimasi penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah reguler mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan menengah. Hal ini akan membuka peluang untuk memperluas kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas.

Namun kebijakan yang baik tidak diimbangi dengan kesiapan sekolah yang direkomendasikan untuk menyediakan fasilitas belajar dan dukungan sumber daya yang memadai. Akibatnya, terdapat indikasi bahwa pendidikan kebutuhan khusus anak di sekolah inklusi belum mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.

Baca juga: Pengertian Sekolah Inklusif

Dijelaskan juga bahwa berbagai regulasi yang mendukung penerapan model pendidikan inklusif di Indonesia, menunjukkan bahwa perhatian pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia berkebutuhan khusus perlu ditindaklanjuti secara konsisten oleh para pembuat kebijakan dalam proses pelaksanaannya. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat beberapa pertanyaan yang perlu direnungkan oleh penyelenggara pendidikan inklusif, yaitu:
  1. Seperti apakah integrasi anak berkebutuhan khusus ke dalam kelas reguler dalam meningkatkan kinerja mereka?
  2. Apakah tanggapan peserta didik regular cukup positif cukup?
  3. Apakah model pembelajaran yang diterapkan di kelas inklusif sudah cukup efektif?
  4. Apakah media pembelajaran yang digunakan sudah sesuai dengan karakter kelas?
  5. Apakah desain pembelajaran yang disiapkan sesuai dengan kelompok binaan?
  6. Apakah guru biasa memiliki kesiapan menghadapi anak berkebutuhan khusus?
  7. Apakah kompetensi guru sudah memadai untuk kelas inklusi ?
  8. Apakah fasilitas penunjang perlu ditingkatkan oleh sekolah? dan seterusnya.
Tujuan penelitian yang dijalankan ini adalah untuk mendeskripsikan secara kualitatif fakta empiris antara harapan dan kenyataan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia pada anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan desain penelitian kepustakaan dan memanfaatkan sumber primer dan sumber sekunder untuk memperoleh data penelitian.

Baca juga: Cacat, Handicap, Difabel, Disabilitas, ataukah Tuna

Dengan kata lain, penelitian pustaka ini membatasi kegiatan pengumpulan data melalui bahan pustaka (manual dan internet), tanpa perlu penelitian lapangan. Dalam pelaksanaannya rangkaian kegiatan penelitian perpustakaan ini berkaitan dengan metode pengumpulan data perpustakaan, pembacaan dan pencatatan serta pengolahan bahan hasil penelitian.

Ada beberapa alasan digunakannya penelitian kepustakaan ini, antara lain:
  1. Masalah yang menjadi topik penelitian ini dalam penelitian pendahuluan merupakan fenomena baru yang sedang berkembang dan mendapat respon yang cepat dari masyarakat.
  2. Tersedianya dokumentasi pelaksanaan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus dari pengambil kebijakan dari berbagai tingkatan untuk menjawab permasalahan penelitian.
  3. Informasi atau data empiris yang telah dikumpulkan oleh pihak lain, dalam berupa laporan hasil penelitian, laporan resmi, buku yang disimpan di perpustakaan dapat digunakan untuk menjawab masalah penelitian ini.

Hasil Temuan dalam Penelitian ini

Berdasarkan kenyataan bahwa pertumbuhan anak berkebutuhan khusus dari tahun ke tahun terus meningkat secara signifikan, berdampak pada penyediaan layanan pendidikan. Di antara mereka yang dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus, ada yang dilayani bersama dengan siswa lain yang sejenis atau umum di sekolah biasa. Bahkan di antara mereka mungkin juga membutuhkan layanan khusus, karena bisa dikenali mengalami perbedaan.

Baca juga: Pentingnya Universal Design for Learning dalam Pendidikan Inklusif

karakteristiknya sangat signifikan. Dalam kaitan ini, layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus adalah: (1) dirancang dalam format pendidikan reguler, (2) dirancang khusus untuk pendidikan luar biasa karena memenuhi kriteria undang-undang disabilitas atau disabilitas (Choate, 2004).

Pada kasus pertama, kegagalan dalam belajar pada kelompok siswa dengan defisit perhatian, kegagalan membaca (disleksia), tidak mampu mengikuti ritme atau model pembelajaran umum, tekanan sosiokultural atau ekonomi, dan sebagainya. Sedangkan pada kasus kedua, kegagalan formal menurut diagnosisnya dikategorikan sebagai penyandang disabilitas, sehingga dibutuhkan pendidik khusus.

Persebaran anak berkebutuhan khusus ternyata tidak terfokus pada bidang tertentu, menjadi kendala yang dapat mempersulit pengambil kebijakan untuk mengakomodasi layanan pendidikannya. 


Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak penyandang disabilitas yang bersekolah di sekolah luar biasa, yang lain di sekolah biasa (Ashman & Elkins, 1998), dan perkiraan populasi peserta didik di sekolah luar biasa kurang dari 3% anak-anak. dengan disabilitas (Authority, 1985). Artinya, 97% anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan layanan pendidikan yang tidak terjangkau melalui SLB.

Prevalensi anak di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2009, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah 2.126.998 orang, dengan rincian: 338.796,85 (15,93%) buta, 223.737,78 (10,52) %) tuli, 151.427,09 (7,12%) gangguan bicara, 73.586,76 (3,46%) tuli dan gangguan bicara, 717.798,94 (33,75) hambatan fungsi fisik dan gerak, 290.944,19 (13,68%) cacat intelektual, 149.512,99 (7,03%) cacat ganda , dan 181.202.08 (8,52%) gangguan kejiwaan (Kemdikbud, 2013).

Berdasarkan catatan yang dihimpun USAID, pada tahun 2011 komposisi sekolah yang melayani pendidikan anak berkebutuhan khusus di Indonesia meliputi 1.858 sekolah luar biasa, 1.654 sekolah dasar biasa, dan 320 sekolah menengah biasa. Lebih dari 73.100 orang terlayani di SLB, lebih dari 29.700 orang terlayani di sekolah inklusif (SD & SMP).

Baca juga: Pengertian, Prinsip, dan Penerapan Universal Design For Learning

Laporan World Health Organization (2008) diketahui bahwa 20% anak berkebutuhan khusus usia 6-11 tahun dan 19% anak berkebutuhan khusus usia 12-17 tahun memiliki kesempatan untuk belajar (Baine, 2013). Rendahnya partisipasi peserta didik berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya mendapatkan solusi yang tepat.

Merujuk data dari “International Consultative Forum on Education for All” (2000) di dunia ini terdapat 113 juta anak usia sekolah dasar yang tidak bersekolah. 90% di antaranya berada di negara berpenghasilan rendah hingga menengah, dan lebih dari 80 juta anak seperti itu tinggal di negara-negara Afrika.

Kalaupun ada yang bisa sekolah, ada juga yang putus sekolah (putus sekolah) padahal proses pendidikan belum selesai. Solusi yang tepat untuk memperluas akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah penempatan anak berkebutuhan khusus tingkat ringan, sedang, dan berat penuh di kelas umum (Staub & Peck, 1995).

Sistem layanan pendidikan yang mewajibkan semua anak penyandang disabilitas atau anak berkebutuhan khusus untuk dilayani di sekolah terdekat di kelas reguler bersama teman sebayanya untuk mengoptimalkan potensi mereka melalui pendidikan inklusif (O’Neil, 1995).

Baca juga: Life Skill-Based Education Management Model for Children with Special Needs

Upaya ini didasari alasan bahwa dalam masyarakat keberadaan anak normal dan anak berkebutuhan khusus tidak terpisahkan sebagai suatu komunitas. Menyadari hakikatnya, model pendidikan inklusif sebagai pilihan untuk memperluas akses layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dalam beberapa tahun terakhir banyak pemerintah provinsi dan kabupaten di Indonesia yang melegitimasi pelaksanaan program pendidikan inklusif di daerahnya masing-masing.

Urgensi program pendidikan inklusif di Indonesia semakin kuat ketika pemerintah provinsi, kabupaten atau kota menginisiasi gerakan pendidikan inklusif untuk anak berkebutuhan khusus, diperkuat dengan peraturan Gubernur, peraturan Bupati dan peraturan Walikota.

Contoh daerah tingkat provinsi yang melegitimasi pendidikan inklusif adalah Peraturan Gubernur DKI No. 116/2007, Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 6/2011, Peraturan Gubernur Aceh No. 92/2012, Peraturan Gubernur DIY No. 21/2013 dan provinsi lain mengikutinya. Begitu pula di tingkat Kabupaten atau Kota antara lain: Peraturan Kabupaten Banyuwangi Nomor 68 Tahun 2012, Peraturan Kabupaten Kabupaten Tuban Nomor 51 Tahun 2012, Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 42 Tahun 2013, Peraturan Kabupaten Jombang Kabupaten Nomor 39 Tahun 2014, Peraturan Kabupaten Bojonegoro Nomor 39 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Kota Malang Nomor 425/0555 / 35.73.307 / 2009, dan Bupati / Walikota lainnya mengikutinya.

Tingginya dukungan regulasi pemerintah, apakah berpengaruh langsung terhadap implementasi model pendidikan inklusif di Indonesia? Berikut beberapa fakta empiris yang telah dielaborasi dari hasil studi pada beberapa penyelenggara pendidikan inklusif di beberapa kota di Indonesia.


Kesimpulan

Pertumbuhan populasi anak berkebutuhan khusus setiap tahun cenderung meningkat, sedangkan lembaga pendidikan khusus yang tersedia terbatas. Menerapkan model pendidikan inklusif dapat memperluas akses anak berkebutuhan khusus terhadap layanan pendidikan.

Dalam implementasinya, model pendidikan inklusi telah didukung oleh stakeholders, namun realitas pelaksanaannya masih terkendala, terutama sumber daya yang terbatas dan respon lingkungan sekolah belum sepenuhnya responsif.

Pendidikan kebutuhan khusus anak di sekolah inklusi belum mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal-hal yang berharga dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif: tujuan pendidikan yang ditujukan kepada semua anak (pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai); fleksibilitas kurikulum yang memungkinkan merespons diversifikasi dan memberikan kesempatan untuk mencapai; penilaian berdasarkan kemajuan individu; dan pengetahuan dan keterampilan materi yang diajarkan harus relevan dengan anak.

Artikel ini adalah penjabaran dalam artikel yang berjudul “The Implementation of Inclusive Education in Indonesia for Children with Special Needs: Expectation and Reality”, yang dapat sobat akses di link https://www.researchgate.net/publication/327149227_The_Implementation_of_Inclusive_Education_in_Indonesia_for_Children_with_Special_Needs_Expectation_and_Reality.

Semoga bermanfaat ya. Terima kasih menjadi sobat setia Surya Disabilitas.

Post a Comment for "Harapan dan Realita Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia"